BIODATAKU

TANGKILAN, MAGELANG, Indonesia
nama : cipto purnomo tpt tgl lahir : Magelang, 18 agustus 1983 Pendidikan : S1 SENI RUPA MURNI INSTITUT SENI RUPA INDONESIA ALAMAT : TANGKILAN, RT 02 / 18 PABELAN MUNGKID JAWA TENGAH 56551 E-MAIL : artcipto@yahoo.com Aktivitas berkesenian: 2001 : Pameran seni rupam diesnatalis "SASENITALA" di ISI YOGYAKARTA 2004 : Pameran Seni Rupa, seni media rekam, seni pertnjukan "Jalin Bapilin" bersama mahasiswa Minang ISI Yogyakarta bertempat di benteng Vredeburg Yogyakarta 2007 : Pameran seni rupa "59" Alumni ISI 2006 di gedung TAman Budaya Yogyakarta 2007 : Pameran seni rupa Foto dan Instalasi di ELO PROGO ART'S BOROBUDUR jawa tengah 2007 : pameran seni rupa "Borobudur International art project " di Pondok Tingal Borobudur Jawa tengah 2007 ; ASEAN AKSI "OCCUPYING SPACE " di Sembalun Lombik NTB 2008 : Pameran Seni Rupa 100 th Kebangkitn Nasional di Jogja Gakery Yogyakarta 2008 : Pameran Seni Rupa "Dinamika Estetika " di Taman Budaya Yogyakarta PENGHARGAAN 2003 : Juara 3 Lomba Lukis BIF (BOROBUDUR INTERNATIONAL FESTIVAL) 2009 : Memecahklan rekor MURI dgn membuat Patng BUdha terkecil dari emas pada tgl 24 April 2009

by cipto purnomo | 11.02 in | komentar (0)





BOROBUDUR! Kini misteri candi Buddha peninggalan abad IX tersebut
kembali jadi perbincangan. Ini gara-gara di akhir Maret lalu muncul berita
bahwa salah satu arca Buddha dari candi di Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah, tersebut akan dilelang di Balai Lelang Christie New York, AS.
Untung, pada detik-detik terakhir menjelang lelang dimulai, petugas langsung
menyatakan, "…lelang untuk lot 107, an important large volcanic stone
figure of Buddha, … withdrawl, …dicabut."

Nyaris, memang itulah istilah paling tepat. Seandainya lelang tersebut
jadi berlangsung, dan barang tadi laku, maka Christie’s berhak
merahasiakan nama serta alamat sang pembeli. Dengan kata lain, menurut seorang
kolektor barang antik, Syahrial Djalil, "Kita akan kembali kehilangan
jejak arca bersangkutan. Tetapi, berkat ada lelang yang sudah
dijadwalkan lama serta katalognya telah disebarkan ke mana-mana, minimal sekarang
kita jadi tahu arca Buddha tersebut sekarang berada di tangan pemilik
terakhir, Dr William T Price."

Tentu saja, sesudah lokasinya ketemu, maka tahap kedua harus menyusul.
Pemerintah, masyarakat Indonesia, bahkan juga masyarakat internasional,
berhak menuntut agar arca tersebut dikembalikan ke tempat dan
pemiliknya semula: Candi Borobudur. Apalagi sejak 13 Desember 1991 Borobudur
telah dinyatakan sebagai harta warisan dunia (world heritage) dengan
register nomor 692. Undang-undang perlindungan budaya Indonesia juga dengan
tegas menyebutkan, semua peninggalan budaya yang berusia 50 tahun lebih
harus dilindungi, tidak boleh dipindahtangankan, diperjualbelikan,
apalagi dirusak.

Pertanyaannya, bagaimana seandainya arca Buddha eks Borobudur tersebut
tidak dikembalikan? Yang pasti, pihak yang sekarang menguasai barang
curian tersebut bakal kena sanksi sosial sangat berat. Semua orang tahu
barang tersebut hasil curian sehingga dia tak akan bisa bebas
memperlihatkannya di depan umum. Artinya, dia hanya bisa menikmati di kamarnya
sendiri, sementara di luar rumah namanya akan terus dipergunjingkan.

"Bhumisam-Bharabudhara"

Salah satu kunci untuk menyingkap misteri candi Buddha di Magelang
adalah dokumen dari abad IX yang berhasil dibaca Dr JG Casparis. Dokumen
tersebut menyebut urut-urutan ketiga keluarga Syailendra yang berkuasa di
wilayah itu. Berawal dari Raja Indra, kemudian anaknya, Samaratungga,
dilanjutkan cucu perempuan, Pramodawardhani.

Pada masa kekuasaan Samaratungga inilah dilakukan pembangunan sebuah
candi yang disebut "Bhumisam-Bharabudhara", yang diinterpretasikan
sebagai the mountain of the accumulation of virtue in the ten stages of the
Bodhisatwa. Berdasarkan kalimat Bharabudhara inilah Casparis kemudian
menyatakan kemiripan dengan sebutannya sekarang ini: Borobudur.

504 arca Buddha

Memang panjang jarak yang harus ditempuh sebelum para pengikut Buddha
di Jawa bisa membangun candi untuk ikut menghormatinya. Buddha
dilahirkan dengan nama Gautama, sekitar 560 tahun sebelum Masehi, sezaman dengan
Konghocu (551-479 SM) serta Pythagoras (580-500 SM). Putra Raja
Suddhodana tersebut lahir di Lumbini, Kerajaan Sakya, di kaki Himalaya yang
sekarang ini jadi wilayah Nepal.



Salah satu ciri khas agama Buddha adalah bangunan berbentuk stupa. Dulu
Buddha merancang bentuk stupa (terbalik) mirip dengan lipatan selembar
kain yang dipakainya membawa makanan ketika dia berkelana. Akhirnya,
setelah terpisah selama lebih dari 14 abad, pada sekitar abad IX, para
pengikutnya di Jawa mulai mendirikan Borobudur. Samaratungga membangunnya
di sebuah bukit batu dengan hiasan stupa besar kecil, arca, dan juga
relief-relief indah. Letaknya (saat ini) di Kabupaten Magelang, tak
begitu jauh dari Sungai Elo dan Progo. Dari catatan fisiknya saja sangat
mengesankan: berbentuk persegi panjang selebar 132 meter, dengan tinggi 42
meter, materialnya menggunakan batu andesit sekitar 55.000 meter kubik.

Jumlah arca Buddha tercatat 504 buah. Rinciannya: 72 arca Buddha berada
dalam stupa, 432 di tempat terbuka. Arca-arca itu tersebar secara
merata, diletakkan dalam lima lorong dan empat galeri. Selain itu, empat
galeri Borobudur berhiaskan 1.300 relief bergambar yang jika disambung
mencapai 2,5 km, dilengkapi 1.212 panel hiasan dekoratif.

Sesungguhnya, menyebutkan Borobudur hanya mempunyai 504 arca Buddha
kurang tepat. Sebab, masih ada satu arca Buddha yang rusak atau sengaja
tidak diselesaikan, dan sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan,
di mana dulu letaknya?

Daoed Joesoef, penulis buku Borobudur, melukiskan, "Mungkin saja arca
tersebut letaknya di dalam stupa induk di puncak candi atau memang di
luar candi, kita enggak tahu. Mengapa rusak, sengaja dirusak atau gagal
waktu membuat, kita juga enggak tahu. Dan kalau gagal, mengapa hanya
satu, sedangkan membikin yang lain semuanya bisa beres?"



Sikap tangan

Ciri khas setiap arca Buddha adalah melihat posisi tangannya, yang
dalam bahasa Sansekerta disebut mudra. Untuk arca yang menghadap ke timur,
tangan kanan menunjuk bumi, namanya bhumisparca mudra. Kemudian di sisi
selatan, tangan kanan dan kiri menghadap ke atas, wara mudra. Arca di
sisi barat namanya dhyana mudra, ekspresi tangan bermeditasi. Paling
akhir, di sisi utara, telapak tangan kanan menghadap ke depan,
abhaya-mudra.

Selain arca Buddha yang menghadap ke empat mata angin, masih ada dua
mudra lagi. Witarka mudra, telapak tangan kanan menghadap ke depan, ujung
ibu jari dan telunjuk saling bersentuhan. Adapun arca dengan kedua
tangan berada di depan dada, seolah-olah sedang memutar roda hukum,
dinamakan dharmacakara mudra.

Dengan demikian, hanya melihat sikap tangannya saja, sudah bisa
dipastikan arca Buddha yang sekarang terkatung-katung menunggu nasib di New
York adalah bhumisparca mudra, yang dulu letaknya di bagian timur Candi
Borobudur. Dokumentasi paling akhir arca tersebut semasa di Borobudur
terlihat pada buku Namo Buddhaya karya bersama Yazir Marzuki dan Fred D
Awuy, tanpa tahun penerbitan. Hanya ada catatan bahwa buku tersebut
terbit dengan dukungan dana dari NV De Indonesische Overzeese Bank,
Amsterdam, Belanda.

Keterangan gambar sebuah arca Buddha dengan sikap bhumisparca mudra
yang duduk sendirian di halaman Borobudur menyebutkan, "Tanggal 10 Agustus
1973 Presiden Soeharto secara resmi akan memulai pemugaran
Borobudur...."

Sayang sekali, arca Buddha ini justru malah terpisah jauh, berkelana
melanglang dunia, tidak sempat menikmati proyek pemugaran Borobudur.
Catatan pengembaraannya sungguh menakjubkan. Sebelum tahun 1980, sempat
diangkut ke Paris, Perancis. Awal 2005, ia muncul di New York, AS.

Lantas, kapan dia akan kembali bersatu dengan rekan-rekannya sesama
arca Buddha Borobudur lainnya? Inilah pertanyaan paling penting....